Entah mengapa sore ini aku tega mengacuhkan Mang Maman, sopir pribadiku, yang sudah belasan tahun rela mengantar jemput kemanapun aku pergi. Tiba-tiba aku ingin menyusuri jalan- jalan kecil di kota yang 18 tahun aku telah tumbuh bersamanya. Keinginan yang kuat mengantar aku melangkahkan kaki bersama gerimis yang sejak tadi membasahi jalanan yang ku pijak.
Hhhh… Aku sungguh menikmati perjalanan ini. Sungguh! Lama aku tak melakukan ini. Berpapasan dengan orang-orang yang tak segan melempar senyum Ya… Warga kotaku masih seramah biasanya ternyata. Derap langkah beratus-ratus pasang kaki, beragam aktifitas diantara gedung-gedung megah dikanan-kiri ku…
Hhhhh… Sesekali aku tersenyum ringan sebagai cerminan pikiran-pikiran unik yang muncul hasil inspirasi yang meluber. Menguap sudah dinding ghaib yang sekian lama menjadi penyekat mata batinku akan dunia sekitar. Entah kemana perginya. Cukup aku menceritakan perasaan sangat luar biasa ku rasakan. Bikin iri saja kan?
“Hey!”
Hemmmm?
“Hey! Aku memperhatikanmu.” kata seseorang menjajari langkah kecilku.
Aduhhhh… Mau apa orang ini? batinku gelisah sangat.
“Hey, bisa kita bicara? Jangan takut” tambahnya berusaha membujukku menghentikan langkah. Dan… Terbujuklah aku. Ku hentikan langkahku seketika. Tetap waspada. Ini bukan hal biasa!
“Hey, aku Nagari. Namaku Nagari. Nagari Pribadi.” katanya mengulurkan tangan, tersenyum. Hemmm… Dari matanya aku bisa menyimpulkan bahwa dia tulus. Aku tersenyum. Ku sambut uluran tangannya. Ah, semakin lebar senyumnya.
“Namamu siapa? Aku belum pernah melihatmu disini sekalipun. Kamu orang baru? Datang dari mana? Rumahmu yang mana?” tanyanya bertubi- tubi. Membuatku tersenyum geli. “Kok tersenyum? Agaknya kamu orang yang ramah. Yah… Seperti orang-orang di kota ini. Luar biasa!” sambungnya berbinar. Cepat aku singgahkan tanganku di dadanya, dan menarik tanganku dengan cepat pula. Seperti kamu. Ramah!
“K-Kamu… Membuat aku gugup…” katanya tersipu. Dia mengambil tanganku dan menempelkan di dadanya. Tepat ke arah jantungnya. Ku rasakan degupan- degupan yang terasa cukup cepat disana. Membuat ku terpana sejenak.
Aneh! Ini benar-benar aneh. Sejak kapan aku kelewatan mudah akrab dengan orang yang baru beberapa menit aku kenal? Di tengah keramaian ini! Tuhan… Orang ini. Lelaki ini. Sebaya denganku mungkin. Dia mampu membuatku merasa nyaman bersamanya dalam sekejap. Siapa namanya tadi? Nagari? Baru kusadari namanya begitu… Aneh… Bukan! Unik. Tapi ini tidak bisa dibiarkan! Hati-hati dengan orang yang baru dikenal, nasihat mama yang paling ku ingat. Seperti anak kecil saja. Aku segera menarik tanganku yang ternyata masih nyangkut di dadanya. Aku bergegas meninggalkannya.
“Hey! Ada apa? Namamu siapa? Aku… Aku… Entah mengapa sangat ingin tau tentangmu. Aku selalu memperhatikan orang-orang di sekitar sini. Tapi… Oh! Bukan! Aku bukan mau merampok atau semacamnya.” cerocosnya, sambil menjajari langkahku. Biar.
Sesuatu melindungi kepalaku dari gerimis yang kian menderas. Aku palingkan wajahku kepadanya. Penuh pandangan menyelidik.
“Kamu keujanan tuh! Rumahmu dimana?”
Hemmm… Dia merelakan jaketnya untuk sekedar melindungi kepalaku dari guyuran hujan yang lumayan dingin. Dia kehujanan. Aku pun tak tega juga. Segera aku menepi di emperan toko yang sedang tutup. Dia mengikutiku.
“Kamu tidak ingin tau alasanku mengamati orang-orang dikeramaian ini? Kenapa aku segitu gigihnya ingin mengenalmu? Kamu tau Serendipity?” tanya dia lagi. Aku hanya tersenyum kecil, penuh tanda tanya juga akhirnya.
“Aku mencari sesuatu. Entahlah… Aku juga tidak tau apa itu sebenarnya. Tentang Serendipity, kesanggupan… Bukan! Kebetulan… Penemuan sesuatu yang tak terduga dan berarti saat sedang mencari hal lain. Kebetulan yang menyenangkan. Seperti aku saat menemukanmu diantara mereka sore ini.” Katanya lagi, mampu membuatku tercenung diam. Ku palingkan wajahku kepadanya. Ku cari kejujuran itu dimatanya. Dan baru aku sadari bahwa matanya begitu menghipnotisku. Tuhan… Indah.
Dia tersenyum. Mencari sesuatu di saku celananya. Spidol hitam? Dia menulis sesuatu di lengan jaket yang masih bertengger menutupi kepalaku. Melindungi rambut legamku. Sederet nomor.
“Kapan- kapan hubungi aku ya.”tawarnya, tersenyum.
Aduhhh… Senyum itu lagi. Tuhhh… Matanya berbinar lagi.
Aku ambil hape-ku dari tas. Mengetik nomornya, ingin sekedar memastikan. Tepat saat aku menekan tombol ‘Call’, layar hape-ku menghitam. Mati. Lowbath.
Dia tersenyum simpul.
“Tidak perlu dipastikan… Aku tidak sedang membohongimu…”
Aku tidak memperdulikan kata-katanya. Segera aku lepas pita merah jambu yang dari tadi mengikat rambutku. Membuat rambut legamku tergerai bebas. Ku pinta spidol hitam yang tadi digenggamnya. Genap! Dua belas digit nomor hapeku tertulis di pita itu. Membuat matanya terbelalak takjub.
“Terimakasih. Pakai saja jaket ini. Tidak bagus memang, tapi bersih.” ucapnya penuh semangat.
Dinnn!!!
Serentak kami menoleh kearah suara itu. Ah, Mang Maman mencariku rupanya. Tergopoh sopir itu menjemputku dengan payung yang melindunginya dari guyuran hujan yang belum juga reda.
“Aduhhh, Non… Saya cari kemana-mana. Pulang, Yuk! Sebentar lagi tuan sama nyonya pulang loh…” didalam kata-katanya aku merasakan kekhawatiran yang berangsur melega.
“Hey, namamu siapa? Kok dari tadi diam saja? Cuma senyum dan memandangku. Kamu…”
Tak menunggu kata-katanya usai, ku tarik Mang Maman untuk segera pulang. Aku menerobos derasnya hujan menuju mobil. Berbekal perlindungan jaketnya. Terburu-buru Mang Maman menuruti keinginanku.
“Hey…!” masih sempat ku dengar seruan terakhir orang itu. Tapi Mang Maman keburu tancap gas. Di bawah guyuran hujan ia berusaha mengejar.
Entah mengapa aku merasa tau apa yang selanjutnya akan ia tanyakan.
“Kamu… Bisu?!”
*Ternyata! Pemirsa…!